Menjadi Generasi Milenial yang Cerdas
Ilustrasi media sosial
Tradisi literasi sudah berkembang jauh
sebelum era milenial hadir di tengah-tengah pesatnya perkembangan teknologi digital
dan media sosial. Hal itu terbukti dengan melimpahnya karya-karya ulama dan
tokoh-tokoh Nusantara. Tradisi literasi lahir dari nalar ilmiah, tidak
sembarang mengambil kesimpulan tanpa verifikasi dan kritik sumber, serta
berbasis metodologi dan pembacaan mendalam.
Spirit tradisi literasi di atas
penting diperhatikan oleh generasi milienial yang lebih banyak mengonsumsi
berita dan informasi via jaringan online dan media sosial. Tabayun, itulah
tradisi lain yang perlu dibawa sehingga seseorang tidak terjebak dengan berita
atau informasi, gambar, video yang belum tentu kebenarannya. Literasi yang baik
dengan proses tabayun merupakan upaya agar seseorang bisa memelihara akal
sehatnya. Karena konsumsi informasi yang tidak benar akan mendestruksi
(merusak) akal sehat sehingga yang tertanam adalah kebencian belaka.
Spirit
literasi digital dengan proses tabayun yang kuat adalah salah satu langkah yang
harus dilakukan karena tidak sedikit informasi palsu (hoaks) atau berita bohong
(fake news) yang kerap mempengaruhi seseorang sehingga berdampak pada tatanan
sosial yang terganggu, menimbulkan keresahan, dan perpecahan antar-elemen
bangsa.
Atas sedikit banyak dampak yang ditimbulkan dari era digital ini,
sejumlah elemen bangsa sadar akan tantangan hebat yang bakal dihadapi oleh
generasi Indonesia ke depan. Sebelum menginjak ke berbagai tantangan yang lebih
serius, kelompok yang sadar akan keberlangsungan Indonesia terus berupaya
membekali anak-anak yang disebut generasi milenial ini untuk memperkuat
literasi digital.
Generasi milenial disebut juga Generasi Z. Merujuk pada abjad
huruf, Z merupakan huruf terakhir sehingga bisa dikatakan bahwa generasi
milenial merupakan generasi terakhir dengan perkembangan teknologi yang luar
biasa. Dalam klasifikasi generasi era digital, generasi ini disebut native
digital, generasi yang lahir ketika era digital telah berkembang pesat.
Adapun
generasi satunya disebut digital immigrant. Generasi ini lahir ketika terjadi
proses transformasi digital. Lahir ketika era internet belum berkembang pesat
bahkan belum ada perkembangan internet, kemudian saat ini dihadapkan pada era
di mana generasi asli digital atau native digital juga menghadapinya.
Kelompok
digital immigrant inilah yang sadar akan tantangan perkembangan digital bagi
masa depan bangsa dan generasi mudanya sehingga terus mendorong literasi
digital agar generasi Z tidak terlalu terbius dengan virus digital dan segala
sesuatu yang mengiringinya. Namun, kelompok digital immigrant juga tidak
sedikit yang terpengaruh dengan gaya kehidupan generasi milenial.
Langkah
pencerdasan generasi milenial perlu mendapat panduan dari generasi-generasi
sebelumnya yang justru lebih dahulu memahami dinamika yang berkembang dalam
dunia teknologi informasi. Bahkan dari pemahaman tersebut, pola prediksi
perkembangan teknologi selanjutnya bisa dilakukan. Langkah pencerdasan ini bisa
dimulai dengan memberikan pemahaman melalui penulisan buku terkait literasi
digital dan perkembangannya.
Generasi milenial tetap bisa belajar dari pendiri
Facebook Mark Zuckerberg; pendiri Google Lary Page dan Sergey Brin; pendiri
Twitter Evan Williams, Jack Dorsey, Christoper Biz Stone, dan Noah Glass; dan
pendiri Alibaba Jack Ma. Mereka menghiasi dunia digital dengan berbagai
platform yang bisa digunakan oleh generasi milenial untuk berinteraksi dengan
sesamanya, baik untuk kebutuhan sosial, bisnis, pendidikan, dan lainnya.
Poin
penting dari para pendiri kerajaan digital tersebut ialah komitmen yang kuat
dalam melakukan inovasi berdasarkan kebutuhan-kebutuhan manusia zaman modern
sehingga memberikan gambaran jelas terkait karakteristik generasi milenial.
Perkembangan era digital satu sisi bisa memperkuat bangunan kemanusiaan sebuah
bangsa, tetapi di sisi lain juga dengan mudahnya masyarakat terpengaruh arus
informasi yang beredar sehingga potensi perpecahan juga mudah tersulut.
Di
tengah arus media digital yang demikian masif, Hasan Chabibie (2017)
menjelaskan, kebinekaan yang menjadi identitas warga Indonesia mendapat ancaman
(tantangan, red) serius. Ancaman itu berupa meningkatnya eskalasi kebencian dan
provokasi yang disebarkan secara massif melalui media sosial. Revolusi
teknologi dan mudahnya akses media sosial ternyata menyimpan ruang gelap berupa
kebencian dan isu-isu negatif yang dihembuskan kelompok radikal.
Kelompok radikal
tidak terlepas dari kelompok konservatif yang menghembuskan isu-isu keagamaan
untuk kepentingan politik kekuasaan. Namun sebelumnya, kelompok ini sudah
beredar di Indonesia dengan upaya meresahkan masyarakat dengan dalil-dalil
keagamaan yang cenderung menyerang tradisi keagamaan masyarakat Indonesia.
Kini
ruang mereka lebih luas di era perkembangan digital dengan merambah dakwah di
media sosial untuk mempengaruhi masyarakat secara luas dengan
pemikiran-pemikiran radikal dan dalil-dalil keagamaan yang konservatif. Di
sinilah tantangan besar generasi milenial agar lebih cerdas dalam memilah dan
memilih informasi yang harus diikuti atau dikonfirmasi kebenarannya (tabayun).
Era digital ini tidak memungkiri bahwa yang selama ini berkembang justru
wacana-wacana keagamaan kontraproduktif, karena agama yang seharusnya bisa
memperkuat persaudaraan (ukhuwah) berbagai elemen bangsa justru menjadi pemicu
perpecahan di antara anak bangsa.
Sehingga tidak heran ketika KH Ahmad Ishomuddin (2017) mengatakan,
generasi saat ini mempunyai semangat belajar keagamaan yang tinggi, tetapi
tidak diimbangi dengan kemampuan memahami agama itu sendiri. Sebab itu, belajar
kepada guru, ustadz, dan kiai yang tepat mempunyai peran yang sangat penting
untuk mendukung gagasan literasi digital.
Dunia pendidikan merupakan elemen
penting bangsa dan negara yang turut terkena dampak (impact) perkembangan
digital. Dampak positif banyak dihasilkan seperti media pembelajaran dan akses
komunikasi serta informasi yang semakin mudah. Namun sejurus itu, dampak
negatif juga terus membayangi seperti banyaknya konten-konten bersifat merusak,
krisis interaksi sebab ketagihan gadget, dan lain sebagainya.
Namun demikian,
betapa perkembangan digital ini mampu menjangkau luas berbagai elemen bangsa
untuk mengakses pendidikan seluas-luasnya melalui inovasi pendidikan yang
terwujud dalam berbagai platform aplikasi digital yang sangat bermanfaat.
Artinya, perkembangan digital dalam dunia pendidikan merupakan salah satu
langkah mewujudkan gagasan literasi digital. Generasi milenial yang mempunyai
karakter lebih dominan dalam mengakses informasi melalui internet ketimbang
buku harus diimbangi dengan konten-konten dan aplikasi positif dalam dunia
pendidikan.
Namun, di tengah perkembangannya, literasi digital ini juga harus
menjadi media untuk anak bangsa bahwa belajar langsung kepada seorang guru yang
tepat juga menjadi bekal dalam mengarungi dunia digital. Karena, bekal ini akan
bermanfaat bagi generasi milenial untuk mengisi dunia maya dengan konten-konten
positif dalam rangka membangun Indonesia yang kuat dan agama yang lebih ramah
untuk kehidupan bersama.
Artikel ini diterbitkan kerja sama antara NU
Online dengan Direktorat Jenderal Informasi dan Komunikasi Publik Kemkominfo