Sejarah dan Prestasi Muslimat NU
Pada
awal berdirinya, NU hanya untuk kaum laki-laki, tetapi seiring dengan tumbuhnya
pergerakan Indonesia, yang juga melibatkan kaum perempuan, para muslimah di
lingkungan NU juga berkeinginan aktif berorganisasi untuk memperjuangkan
berbagai persoalan yang menghinggapi perempuan. Aspirasi ini diterima oleh para
ulama NU dan untuk pertamakalinya, keterlibatan perempuan dalam Muktamar NU
ke-13 di Menes Banten (1938). Disitu, Muslimat mulai diterima sebagai anggota,
tetapi belum diizinkan menjadi pengurus. Disitu, sudah terdapat perwakilan
perempuan yang menyampaikan pandangannya, yaitu Ny R Djuaesih dan Ny Siti
Sarah.
Kemajuan mulai mulai terjadi
dalam Muktamar ke-14 di Magelang (1939), Muslimat NU mendengar dari balik
tabir, dan terdapat beberapa orang yang berbicara, malahan pimpinan sidang
dipegang oleh Perempuan.
Persidangan
untuk Muslimat ini untuk pertama kali dipimpin oleh Siti Juaesih dari Bandung.
Beberapa perwakilan yang mengirimkan utusannya adalah NU Muslimat Muntilan, NU
Muslimat Sukaraja, NU Muslimat Kroya, NU Muslimat Wonosobo, NU Muslimat
Surakarta (Solo), NU Muslimat Magelang, Banatul Arabiyah Magelang, Zahratul
Imam Magelang, Islamiyah Purworejo dan Aisiyah Purworejo. Mereka mendiskusikan
tentang pentingnya peranan perempuan dalam organisasi NU, masyarakat,
pendidikan dan dakwah.
Pada Muktamar NU selanjutnya di Surabaya (1940) yang
ke-15, telah diusahakan pembentukan badan tersendiri bagi para perempuan NU,
yang telah lengkap aturan organisasi dan para pengurusnya, tetapi belum
terdapat pengakuan resmi.
Kedatangan Jepang dan suasana perang membuat
aktifitas organisasi NU lumpuh, termasuk badan-badan yang berada dibawah NU.
Baru pada muktamar ke16 di Purwokerto tahun 1946, Muslimat menjadi bagian resmi
NU dengan nama Nahdlatul Ulama Muslimat (NUM) yang memiliki struktur
kepengurusan sendiri, yang menangani berbagai masalah perempuan yang mereka
hadapi. Karena itu, hari lahir Muslimat NU dicatat pada 29 Maret 1946 atau 26
Rabiul Akhir 1465.
Pengurus Muslimat pertama
Penasehat : Ny Fatmah Surabaya
Ketua : Ny Chadijah Pasuruan
Penulis : Ny Mudrikah
Penulis II : Ny Muhajja
Bendahara : Ny Kasminten Pasuruan
Pembantu : Ny Fatehah
Pembantu : Ny
Musyarrafah Surabaya
Pembantu : Ny Alfijah
Dalam Peraturan Dasar dan Peraturan
Rumah Tangga Muslimat yang pertama, pasal 2, disebutkan Badan ini bertujuan:
Menyadarkan para wanita Islam Indonesia akan kewajibannya, supaya menjadi ibu
yang sejati, sehingga dapatlah mereka itu turut memperkuat dan membantu
pekerjaan NU dalam menegakkan agama Islam.
Peranan Muslimat semakin maju, pada
Muktamar NU tahun 1950, sudah terdapat sidang kombinasi yang melibatkan
syuriyah, tanfidziyah dan Muslimat selain menyelenggarakan sidang-sidang
sendiri. Pada Muktamar di Palembang tahun 1952, Muslimat secara resmi menjadi
badan otonom NU sendiri dengan nama Muslimat NU yang dapat mengatur rumah
tangganya sendiri.
Pengabdian Muslimat NU
Salah satu kegiatan Muslimat NU
adalah bidang pendidikan. Ini merupakan lahan yang sejak pertama kali Muslimat
didirikan mendapat perhatian penting karena pembangunan material tidak akan
sukses jika tidak diiringi pembangunan spiritual. Muslimat NU mengintensifkan
pendidikan bagi kaum perempuan sehingga dapat memperkuat dan membantu pekerjaan
NU dalam menegakkan dan melestarikan ajaran Islam.
Dalam kongres ke-3, Mei
1950, secara lugas disebutkan tugas spesifik Muslimat diantaranya adalah “…memperhebat
pemberantasan buta huruf dikalangan wanita Indonesia”.
Mengingat sudah ada
lembaga tersendiri yang menangani pendidikan di lingkungan NU, yaitu LP Maarif
NU, maka dilakukan pembagian peran, Muslimat NU dikhususkan menangani sekolah
TK yang sejak awal dirintis dan dikembangkan Muslimat NU. selain itu, Muslimat
NU juga menangani majelis taklim para ibu dan memberikan pelatihan ketrampilan
bagi kaum perempuan.
Untuk menangani masalah pendidikan ini, Muslimat NU
mendirikan Yayasan Bina Bakti Wanita. Yayasan ini awalnya hanya menangani
kegiatan pendidikan dan latihan ketrampilan hasil kerjasama Muslimat NU dengan
Departemen Tenaga Kerja RI, tetapi sejak Oktober 1990, yayasan ini diminta
mengelola seluruh lembaga pendidikan yang berada di bawah naungan Muslimat NU.
Untuk itu pada 1 April 1992, yayasan tersebut berganti nama menjadi Yayasan
Pendidikan Muslimat NU Bina Bakti Wanita yang lebih dikenal dengan YPM. Dalam
laporan pada Kongres Muslimat di Lampung Juli 2011, jumlah TPQ 13.568, TPA/RA
9.800, playgroup 4.567.
Untuk menangani bidang sosial dan kesejahteraan,
dibentuk Yayasan Kesejahteraan Muslimat NU, disingkat YPM NU yang didirikan
pada 11 Juni 1963. Yayasan ini menangani panti asuhan yang menangani tidak
hanya yatim piatu, tapi juga anak-anak miskin yang membutuhkan bantuan, rumah
sakit, BKIA, dan klinik, tempat penitipan anak, panti lanjut usia serta asrama
putri milik Muslimat NU dengan program meliputi bina balita, imunisasi,
peningkatan ketrampilan, peningkatan kesejahteraan keluarga, penyuluhan KB dan
sejenisnya. Dalam laporan pada Kongres Muslimat di Lampung Juli 2011 terdapat
panti asuhan 103 dan 74 BKIA (rumah bersalin/rumah sakit)
Muslimat NU juga
memiliki Yayasan Haji Muslimat NU yang membantu perjalanan ibadah haji dan
umroh. Dibeberapa daerah, yayasan ini mampu menjadi sumber pendanaan bagi
organisasi. Upaya pendanaan lain dilakukan melalui koperasi An Nisa
Bidang
dakwah juga mendapat perhatian penting. Untuk menggalang potensi dakwah dan
mengefektifkan gerakan dakwah, para daiyah Muslimat NU dan Fatayat NU membentuk
Hidmat (Himpunan Daiyah Muslimat dan Fatayat NU) yang dibentuk dalam kongres XI
di Paiton Jawa Timur (1984). Kegiatan yang diselenggarakan Hidmat meliputi
penerangan dan dakwah di tengah-tengah masyarakat, pengajian rutin, lailatul
ijtima’ tahlil kubro, tabligh akbar dan lainnya. Dalam laporan pada Kongres
Muslimat di Lampung Juli 2011 terdapat 38.000 majelis taklim.
Untuk bidang
penerbitan, media yang pernah diterbitkan adalah Risalah Muslimat NU, Gema
Muslimat, Gema Harlah Muslimat serta buletin Yasmin. Website resmi miliki
Muslimat NU adalah www.muslimat-nu.or.id
Muslimat NU dan Politik
Sebagai organ
dari Partai NU, pada tahun 1950-an, Muslimat NU terlibat aktif dalam politik.
Dalam kongres di Surabaya (1954) direkomendasikan “Kongres memajukan pernyataan
kepada PBNU (Lapunu- Lajnah Pemilihan Umum Nahdlatu Ulama) agar Muslimat dapat
dicalonkan menjadi anggota DPR-DPRD dan konstituante dengan calon prioritas.
Dalam pemilu tahun 1955, NU mendapat 45 kursi. Dari situ, Muslimat NU mendapat
5 wakil (10) persen, yang merupakan porsi yang besar dibandingkan dengan partai
lain. Lima tokoh Muslimat yang duduk di
DPR ini adalah Ny Machmudah Mawardi (Jateng), Ny Maryam Kantasumpena (jateng),
Ny maryama Djunaidi (Jatim) Hadiniyah Hadi (Jatim) dan Ny Asmah Syahruni
(Kalsel).
Sementara itu untuk konstituante, Muslimat menempatkan enam orang
wakilnya sedangkan di MPR terdapat dua orang. Tahun 1960, ketika DPR hasil
pemilu dibubarkan dan dibentuk DPR GR, wakil Muslimat bertambah dua orang, sedangkan
lima orang wakil sebelumnya tetap.
Sebelum itu, peran politik Muslimat telah
dirintis oleh Ny Machmudah Mawardi pada tahun 1946 dengan diangkatnya sebagai
anggota BP KNPI mewakili Masyumi, yang NU masih didalamnya. Pada masa RIS, ia
duduk sebagai anggota DPR RIS.
Konfrontasi dan agitasi yang dilakukan oleh PKI
terhadap NU awal 1960-an direspon oleh Muslimat dengan menyelenggarakan
pelatihan-pelatihan untuk menggembleng fisik, diantaranya bongkar pasang
senjata, menanggulangi bahaya kebakaran, dapur umum, keperawatan dan
ketrampilan lain yang diperlukan dalam keadaan darurat. Kegiatan ini dilakukan
di gedung pusat Hansip jl Salemba Raya, November 1964.
Saat meletusnya
pemberontakan PKI, Muslimat NU termasuk yang paling awal meminta pembubaran
PKI. Demonstrasi dilakukan bersama dengan organisasi perempuan lainnya yang
anti PKI. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan juga diminta untuk membubarkan
dan mengambilalih TK Melati yang dikelola oleh Gerwani, yang disetujui pada
tahun itu juga.
Masa Orde Baru menjadi tantangan berat bagi Muslimat, dengan
fusinya NU dalam PPP. Larangan bagi pegawai negeri atau istrinya, guru dan
karyawan BUMN untuk menjadi anggota non fungsional sempat menimbulkan sikap
takut masyarakat untuk terlibat dalam Muslimat NU. Peran ini kembali terbuka
setelah NU menyatakan diri khittah dalam muktamar 1984 dalam muktamar ke-27 di
Situbondo. Program dan kegiatan yang dilakukan terus berkembang sampai saat
ini.
Para ketua umum PP Muslimat NU dari masa ke masa
1. Ny Chodijah Dahlan
(1946-1947)
2. Ny Yasin (1947-1950)
3. Ny Hj Mahmudah Mawardi (1950-1979)
4. Hj
Asmah Syahruni (1979-1995)
5. Hj Aisyah Hamid Baidlawi (1995-2000)
6. Hj
Khofifah Indar Parawansa (2000)
7.......update next
Arti Lambang :
1. Bola dunia terletak ditengah-tengah berarti tempat kediaman
untuk mengabdi dan beramal guna mencapai kebahagian dunia dan akhirat.
2. Tali
yang mengikat berarti agama Islam sebagai pengikat kehidupan manusia, untuk
mengingatkan agar selalu tolong menolong terhadap sesama dan meningkatkan taqwa
kepada Allah SWT.
3. Lima buah bintang terletak diatas, yang terbesar dipuncak berarti : Sunnah Rasulullah
SAW yang diikuti dengan setia oleh empat sahabat besar : Abu Bakar, Umar,
Utsman dan Ali Radhiyallah’anhum.
Arti seluruh bintang yang berjumlah sembilan
buah yaitu : Walisongo atau Wali Sembilan yang berarti dalam berdakwah
meneladani tata cara Wali Songo, yakni dengan cara damai dan bijaksana tanpa
kekerasan.
Arti Warna:
* Putih
melambangkan ketulusan dan keihlasan.
* Hijau melambangkan kesejukan dan kedamaian.
* Tulisan Nahdlatul Ulama berarti :
Muslimat NU bagian yang senantiasa meneruskan dan mencerminkan perjuangan
ulama.