Virus Corona dan Kisah Mulut Kotak Amal Masjid yang Dilakban
Wabah berdampak langsung terhadap ekonomi masyarakat di
berbagai tingkatan.
Merebaknya virus Corona di seluruh dunia yang hingga kini
telah merenggut lebih dari 108,865 jiwa manusia telah menimbulkan keprihatian
mendalam bagi seluruh lapisan masyarakat global karena wabah ini tidak pandang
bulu berdasarkan ras, suku, agama, kebangsaan, hingga status sosial. Musibah
besar ini tidak saja berdampak langsung terhadap aspek kehidupan masyarakat di
bidang kesehatan, tetapi juga pada aspek ekonomi hingga keagamaan.
Dalam bidang ekonomi, banyak sektor informal
terhenti kegiatannya karena alasan social distancing. Misalnya, banyak sekolah
tutup hingga para pedagang kecil yang pada hari-hari biasa menjajakan
dagangannya di sana tidak bisa berjualan karena murid-murid sekolah belajar di
rumah masing-masing sesuai intruksi pemerintah.
Dampaknya, banyak keluarga dari
kalangan ekonomi lemah itu mengalami kesulitan keuangan dalam mencukupi
kebutuhan sehari-hari. Banyak dari mereka adalah Muslim yang taat beribadah
dengan selalu melaksanakan shalat Jumat di masjid.
Dalam bidang keagamaan, masjid-masjid
diimbau untuk tidak menyelenggarakan shalat Jumat dan shalat lima waktu
berjamaah untuk sementara demi memotong mata rantai penularan virus Corona
antarjamaah masjid. Imbaun semacam ini datang dari berbagai ormas keagamaan
seperti MUI, PBNU, DMI, dan Muhammadiyah dan bahkan dari ulama-ulama yang tergabung
dalam Haiah Kibaril Ulama al-Azhar (Ikatan Ulama Besar al-Azhar) Kairo
Mesir.
Dalam praktiknya imbauan di atas
tidak sepenuhnya dipatuhi oleh setiap pengurus masjid dengan alasan di
daerahnya masih aman dari ancaman wabah virus Corona karena belum termasuk
dalam zona merah virus Corona. Namun demikian dalam menyelenggarakan shalat
Jumat mereka tetap memperhatikan protokol kesehatan dengan memperhatikan
panduan yang secara resmi dikeluarkan oleh MUI tentang Shalat Jumat di tengah
wabah virus Corona bagi masjid yang karena alasan tertentu tetap
menyelenggarakan shalat Jumat.
Panduan
itu antara lain mengatur bahwa masjid harus menyediakan alat ukur suhu, hand
sanitizer, para jamaah harus bermasker, berjarak minimal 1 meter antara jamaah
satu dengan lainnya, dan sebagainya. Aturan jarak minimal 1 meter itu
berimpliksi bahwa ruang masjid menjadi kurang luas untuk menampung semua jamaah
shalat Jumat seperti biasanya. Maka tempat shalat Jumat diperluas hingga
halaman masjid dengan menggelar tikar atau menggunakan sajadah
masing-masing.
Kehatian-hatian Pengurus
Masjid
Beberapa hari lalu di hari Jumat. Seorang kawan sebut saja Pak Heri
bercerita bahwa pada Jumat lalu ia shalat Jumat bukan di masjid di daerahnya
tetapi di luar kota. Ia kebetulan memang ada keperluan penting di kota itu pada
hari Jumat. Di kota tersebut ia menemukan sebuah masjid menyelenggarakan shalat
Jumat yang pelaksanaannya sesuai dengan panduan dari MUI sebagaimana diuraikan
di atas.
Ketika ia sampai di sebuah
masjid itu di pinggir jalan raya, ia langsung turun dan berjalan menuju tempat
wudhu lalu mencuci tangannya dengan hand sanitizer yang disediakan masjid.
Setelah itu ia bermaksud masuk ke dalam masjid. Tetapi tiba-tiba seseorang
datang menghentikan langkah kakinya dan menanyakan dari desa mana Pak Heri itu
berasal. Ia menjawab ia berasal dari luar kota.
Rupa-rupanya orang tersebut adalah bagian
keamanan masjid itu yang ditugasi memastikan agar orang yang berasal dari luar
kota diisolasi agar tidak bercampur dengan warga desa setempat sebagai
antisapsi agar tidak tertular atau menularkan wabah virus Corona karena
dikhawatirkan ada orang yang terpapar virus Corona tetapi tanpa gejala atau
disebut OTG (orang tanpa gejala). Pak
Heri menjawab ia berasal dari luar kota. Dengan jawaban itu
Pak Heri kemudian
mendapat pesan untuk tidak masuk ke dalam masjid tetapi menempatkan diri di
halaman saja. Pak Heri bisa menerima pesan itu dengan baik tanpa protes sedikit
pun karena menyadari siatuasi kesehatan di masyarakat memang sedang tidak normal.
Ia sangat paham bahwa kebijakan itu intinya untuk kebaikan dan keselamatan
bersama.
Ketika shalat Jumat telah
usai, Pak Heri hendak melanjutkan perjalanannya, tetapi ada perasaan yang
mengganjal di hatinya. Sebelum turun dari mobil dan masuk ke halaman masjid Pak
Heri sudah menyiapkan uang untuk diinfaqkan ke masjid. Tetapi ia lupa
mengeluarkannya. Menyadari hal itu Pak Heri kemudian mencari kotak amal masjid.
Akhirnya ia pun menemukannya beberapa kotak amal di sudut masjid.
Ketika Pak Heri mendekat dan hendak
memasukkan uangnya ke dalam kotak, Pak Heri kesulitan karena tidak menemukan
satu lubang pun untuk dimasuki uangnya. Ia mendapati mulut semua kotak amal itu
dilakban tebal sehingga ia tidak bisa memasukkan uangnya.
"Rupa-rupanya pengurus masjid sangat
berhati-hati tidak hanya terhadap para jamaah tetapi juga terhadap uang yang
mereka bawa.” Komentar Pak Heri dalam hati.
Dalam perjalanan pulang dan masih memikirkan mulut kotak amal yang
dilakban, Pak Heri teringat sebuah artikel di sebuah media daring yang
dibacanya beberapa hari sebelumnya bahwa uang kertas yang berpindah dari tangan
ke tangan orang berpotensi menularkan virus Corona meski tidak sangat
signifikan.
“Luar biasa kehati-hatian
pengurus masjid itu.” Pak Heri memujinya.
Menanggapi cerita dan komentar Pak Heri terkait dengan kotak amal masjid
yang dilakban mulutnya tersebut, saya punya analisis sendiri bahwa pengurus
masjid berhati-hati sekali tidak saja dililhat dari perspektif kesehatan,
tetapi juga dari perspektif sosial ekonomi. Di mana-mana di setiap masjid tentu
ada jamaahnya yang dari kalangan ekonomi lemah.
Di saat sulit seperti ini di mana banyak
dari kalangan mereka terdampak langsung secara ekonomi, maka pengurus masjid
cukup bijak ketika untuk sementara tidak mengedarkan kotak amal kepada para
jamaah. Tentu saja tujuannya adalah agar mereka dari kalangan ekonomi lemah
bisa lebih fokus pada pemenuhan kebutuhan keluarga yang itu hukum wajib. Bagi
jamaah yang mampu tentu diharapkan dapat mengalihkannya untuk disalurkan kepada
tetangga kiri kanannya yang tidak mampu yang mengalami kesulitan ekonomi.
Alasan lain, adalah bukankah berkurangnya
volume kegiatan di masjid karena kebijakan social distancing, seperti
ditidakannya untuk sementara waktu pengajian rutin dan sebagainya cukup
mengurangi pengeluaran keuangan masjid, misalnya untuk bayar tagihan listrik,
air, konsumsi, bisyarah, dan sebagainya. Di samping itu, mungkin pengurus
masjid masih memiliki saldo keuangan yang cukup besar selain juga memiliki
donatur tetap yang bisa diandalkan sewaktu-waktu.
Jadi intinya adalah di saat sulit seperti
ini, semua pihak sangat diharapkan kehati-hatianya dalam menjaga protokol
kesehatan dengan menerapkan social distancing dan pola hidup sehat. Dan bahwa
wabah virus Corona ini berdampak langsung terhadap ekonomi masyarakat dari
tingkat lokal terkecil seperti keluarga, RT dan RW, desa, kecamatan hingga
kota/kabupaten, provinsi dan nasional, tidak bisa dielakkan. Masjid sebagai
lembaga sosial keagamaan tentu diharapkan berpartisipasi dalam menangangi
dampak soial ekonomi anggota jamaahnya sebagai bentuk social responsibilty,
misalnya cukup dengan tidak mengedarkan kotak amal untuk sementara waktu
sebagaimana diterapkan oleh masjid sebagaimana dikisahkan di atas. (dari beberapa
sumber)