Nahdlatul Ulama (NU) menganut paham Ahlussunah Wal Jama'ah,
sebuah pola pikir yang mengambil jalan tengah antara ekstrim aqli (rasionalis)
dengan kaum ekstrim naqli (skripturalis). Karena itu sumber pemikiran bagi NU
tidak hanya Al-Qur'an, Sunnah, tetapi juga menggunakan kemampuan akal ditambah
dengan realitas empirik. Cara berpikir semacam itu dirujuk dari pemikir
terdahulu, seperti Abu Hasan Al-Asy'ari dan Abu Mansur Al-Maturidi dalam bidang
teologi. Kemudian dalam bidang fikih mengikuti empat Madzhab Hanafi, Maliki,
Syafi'i, dan Hanbali. Sementara dalam bidang tasawuf, mengembangkan metode
Al-Ghazali dan Junaid Al-Baghdadi, yang mengintegrasikan antara tasawuf dengan
syariat.
Gagasan kembali ke Khittah
pada tahun 1984, merupakan momentum penting untuk menafsirkan kembali ajaran
Ahlussunnah Wal Jamaah, serta merumuskan kembali metode berpikir, baik dalam
bidang fikih maupun sosial. Serta merumuskan kembali hubungan NU dengan negara.
Gerakan tersebut berhasil membangkitkan kembali gairah pemikiran dan dinamika
sosial dalam NU.